Kesehatan

Unik

Teknologi

Kriminal

News

Peristiwa

DENPASAR - Pengacara pendamping tersangka pembunuhan terhadap Angeline (8), Haposan Sihombing menjelaskan hasil pemeriksaan sementara tehadap Agus Tai Hamambai (26).

Menurutnya, hasil penyidikan tersebut menguak sejumlah pernyataan kliennya seputar kematian bocah kelas dua sekolah dasar ini.

Satu di antaranya mengenai keberadaan tali dan boneka di jenazah Angeline.

Agus menjelaskan alasannya menjeratkan tali di leher dan menaruh boneka di jenazah korban.

Menurutnya, cara tersebut dilakukan untuk menghindarkannya dari kejaran arwah korbannya.

"Kata Agus, hal ini merupakan kebiasaan yang dilakukan di tanah kelahirannya," katanya di Polresta Denpasar, Jumat (12/6/2015).

Ia menambahkan, bahwa tali yang ditaruh di tubuh korban ini berasal dari sebuah barang di ruangan tersebut.

Sedangkan sprei yang digunakan untuk membungkus mayat korban menurut pengakuan Agus didapatnya dari luar ruangan yang digunakan oleh pelaku untuk melakukan pembunuhan terhadap Angeline.

"Jadi itu yang kita dapatkan dari Agus mengenai asal tali dan sprei yang digunakan untuk membungkus mayat korban," katanya.

Selain persoalan mengenai asal tali dan sprei, Haposan juga menjelaskan kronologi Agus seputar penghilangan nyawa terhadap bocah yang sebelumnya dikabarkan menghilang ini.

Sesuai dengan pengakuan Agus, awal kliennya menghilangkan nyawa Angeline terjadi pada tanggal 16 Mei sekitar pukul 13.00 Wita.

Saat itu, korban sedang berada di dalam kamarnya sendirian.

Setelah itu, ia kemudian masuk ke kamar Angeline lalu menutup kunci kamar tersebut.

"Ia masuk ke kamar korban dengan tujuan untuk melakukan pelecehan seksual," jelas Haposan.

Namun melihat gelagat dari Agus ini, kata Haposan, Angeline berusaha untuk memberontak.

Karena takut ketahuan oleh ibu asuh korban, ia kemudian memeluk tubuh Angeline.

Namun, karena korban terus memberontak, kliennya tersebut kemudian membenturkan kepala anak itu ke tembok kamar tersebut.

"Selain membenturkan kepalanya, menurut pengakuan Agus, ia juga mencekik leher korban hingga meninggal," katanya.

Setelah melihat korbannya meninggal ia pun membungkusnya dengan sprei yang ia ambil di luar kamar Angeline.

Setelah terbungkus, jenazah korban kemudian disembunyikan di bawah kursi.

"Iya dibawa ke bawah kursi. Terus ia ke luar, sebelum ia dipanggil ibu asuhnya untuk mencari keberadaan Angeline," jelasnya.

Haposan juga mengatakan, bahwa saat kliennya ditanya mengenai kemungkinan Margareith melihat jenazah anak asuhnya tersebut.

Menurutnya kemungkinan besar mantan majikannya tersebut melihatnya.

"Saat mencari tentu masuk ke kamar Angeline. Disitu, ibu asuhnya kemungkinan tahu bahwa anaknya meninggal," katanya.

Ia juga mengungkapkan kejanggalan mengenai selisih waktu antara pembunuhan dengan penguburan jenazah yang mencapai tujuh jam yakni dari pukul 13.00 Wita hingga pukul 20.00 Wita.

"Sampai sekarang saya belum memperoleh gambarannya. Padahal jelas, kalau ibu asuhnya mencari ada kemungkinan bahwa ia tahu anaknya meninggal. Nah ini tidak, terus apa yang terjadi di rumah itu dalam kurun waktu tersebut," kata Haposan.

Kata dia, meski sudah mengikat leher Angeline dan menaruh boneka di jenazah di jasad anak tersebut, kliennya tersebut mengaku sempat dikejar-kejar oleh arwah anak mantan majikannya tersebut.

"Dalam sebuah tidurnya katanya ia sempat dikejar-kejar oleh jenazahnya," katanya.

Misteri tali korden dan bed cover

Meski polisi sudah menetapkan Agus Tai Hamdani sebagai tersangka, publik tampaknya tidak sepenuhnya percaya pembunuh Angeline hanya satu orang.

Karena itu, polisi diminta mengungkap kemungkinan tersangka lain dan tidak hanya berhenti pada pemeriksaan terhadap Agus, pembantu di rumah Margareith.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Merdeka Sirait, menduga kasus pembunuhan tersebut dilakukan secara bersengkongkol.

Tidak mungkin hanya Agus yang melakukan. "Saya yakin ini kasus ini adalah sebuah persekongkolan jahat," tegas Sirait.

Margareith diduga terlibat dalam persengkongkolan tersebut. "Pasti ada aktor lain, pasti ada itu," yakinnya.

Untuk itu, polisi harus mampu mengungkap kasus tersebut secara tuntas.

"Artinya, ketika Margareith dilepas karena belum ada alat bukti, ia dapat dipanggil kembali karena masih dalam proses penyelidikan," tegas Sirait.

Ia juga mempertanyakan, bagaimana mungkin para penghuni tidak mengetahui keberadaan jenazah Angeline yang terkubur di sekeliling rumah tersebut.

Sedangkan ia sendiri saat berkunjung ke lokasi rumah tersebut sempat mencium bau busuk.

"Inilah yang harus dijadikan perhatian dari kepolisian," terang dia.

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar juga menilai kasus pembunuhan siswa kelas II SDN 12 Sanur yang diselidiki Polda Bali dan Polresta Denpasar penuh dengan kejanggalan.

Menurut Siti Sapurah, Pendamping hukum P2TP2A Kota Denpasar, kejanggalan yang ada sudah ia cium sehari pasca-pelaporan Angeline menghilang.

Padahal, menurut hasil penyelidikan P2TP2A, petugas kepolisian sudah diberitahu jika Angeline kemungkinan besar sudah meninggal dan dikubur di sekitar rumah ibu angkatnya.

"Kita sejak awal sudah mewawancarai semua penghuni rumah ibu angkat Angeline. Kesimpulan kami Angeline dibunuh dan sudah dikubur di sekitar rumah. Saya sudah sampaikan sejak lama, tapi kenapa tidak ada tindakan sigap dari kepolisian. Apalagi dengan jarak beberapa minggu saja bisa mengetahui bekas galian, nah kalau dicari saat saya melapor apa gundukan tanahnya lebih terlihat jelas?" cetusnya kepada Tribun Bali tadi malam.

Kejanggalan lain juga dibeberkan oleh wanita yang dikenal dengan panggilan Ipung ini.

Menurutnya, kejanggalan barang bukti yakni tali korden dan bad cover, juga harus diselidiki dengan benar dan transparan.

"Begini mas, kondisi rumah tertutup dan tidak ada yang bisa keluar masuk dengan mudah. Keberadaan barang bukti tali korden yang mirip dengan korden di kamar Margareith, kamar atau ruang lain tidak ada korden. Satu lagi ada yang menjanggal bad cover warna putih, apakah mungkin Agus pakai bad cover? Agus pembantu loh. Kami yakin itu bad cover bukan sprei biasa, toh aneh kalau Agus pakai sprei putih," ungkap Ipung.

Kepala Sekolah SDN 12 Sanur, Ketut Ruta mengatakan, pihaknya memiliki keyakinan ada peran orang terdekat Angeline dalam kasus tersebut.

Apalagi, pencarian terhadap Angeline di rumah tersebut sempat dihalang-halangi oleh Margareith.

"Kalau tidak terlibat kenapa Ibu Margareith menghalang-halangi polisi waktu ingin melakukan pemeriksaan di rumah itu," tegas Ruta.

Apalagi dari kesaksian wali kelas Angeline diketahui anak hasil adposi itu sempat ditemukan beberapa lebam dan kondisi Angeline yang tidak diurus oleh Margareith.

Beberapa warga yang ditemui di lokasi kejadian saat pra-rekontruksi senada dengan Ruta.

Warga meyakini bahwa Angeline menjadi korban dari pembunuhan beberapa orang terdekat Angeline.

"Saya yakin semuanya di dalam rumah terlibat," teriak Sarkis warga asal Gianyar.

Ia mengatakan, ketika eksekusi pasti ada teriakan dari Angeline.

Sesuatu yang mustahil jika teriakan tersebut tidak didengar oleh ibu angkat Angeline, Margareith.

Ibu kandung Angeline, Hamidah, pun merasa kecewa setelah mendapatkan informasi bahwa Margareith diperbolehkan pulang dan tidak ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian.

"Pembunuhan terjadi di rumahnya, pasti seisi rumah terlibat," keluhnya sembari menangis di RSUP Sanglah, kemarin.

Dalam kesempatan tersebut, tampak hadir mertua Hamidah, Saniman dan ayah biologis dari Angeline, Rosidiq.

"Saya sangat kecewa setelah mendengar bahwa Margareith dan anak-anaknya diperbolehkannya pulang oleh pihak kepolisian," terang Rosidiq yang sudah setahun lebih pisah ranjang dengan Hamidah.

Rosidiq dan Hamidah tidak bisa menerima perlakukan orangtua angkat anaknya itu yang dinilai memperlakukan Angeline dengan tidak manusiawi hingga menyebabkannya tewas.

Menurut dr Lely Setyawati, psikolog yang sempat memeriksa kejiwaan Margareith selama tiga jam di Polresta Denpasar, Rabu (10/6/2015) malam, ada kelainan dalam diri wanita berumur 50 tahun itu.

"Ya, hasil pemeriksaan memang dia psikopat," kata Lely, kemarin.

Selama pemeriksaan di Polresta Denpasar, Margareith selalu menjawab dengan nada tinggi dan sesekali menangis.

Hingga akhirnya Polresta mendatangkan seorang psikiater.

Sumber : TRIBUNNEWS.COM

About Unknown

Menyajikan berita terbaru dari mancanegara hingga internasional. Politik, Hukum, Kriminal, Olahraga, Kesehatan, Gaya Hidup, Tragedi, Bencana Alam dan Unik
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Post a Comment


Top